
Fenomena ini, dalam psikologi sosial, dapat dikaitkan dengan social contagion penularan emosi dan perilaku dalam kelompok serta schadenfreude, yaitu rasa puas atau senang melihat kesulitan orang lain.
Motivasi di balik perilaku ini beragam.
Beberapa orang terdorong oleh FOMO (Fear of Missing Out),kecemasan akan tertinggal informasi atau gosip terbaru.
Sementara yang lain terdorong oleh social bonding, di mana keterlibatan dalam drama sosial dianggap mempererat hubungan dengan kelompok.
Table of Contents
ToggleNamun, jika keterlibatan ini justru memperkeruh keadaan, perilaku tersebut dapat memperburuk konflik, meningkatkan stres pihak yang terlibat, dan menurunkan kualitas hubungan sosial secara keseluruhan.
Bagi korban, menambah tekanan mental, memperparah luka emosional, dan menghambat proses penyelesaian masalah.
Bagi pelaku, membentuk pola komunikasi negatif, menurunkan empati, dan dalam jangka panjang bisa merusak reputasi sosial.
Bagi lingkungan, menciptakan iklim sosial yang penuh kecurigaan dan ketegangan.
Psikologi merekomendasikan pendekatan berempati dan self-awareness. Sebelum terlibat dalam masalah orang lain, penting untuk bertanya pada diri sendiri:
Sebagai alternatif, seseorang bisa mengarahkan energinya untuk mendukung secara konstruktif.
Misalnya dengan mendengarkan secara aktif, menjaga kerahasiaan, atau memberi ruang bagi pihak yang bersangkutan untuk menyelesaikan masalahnya.
Menurut Dr. Susan Krauss Whitbourne (University of Massachusetts), perilaku prososial seperti ini lebih membangun trust dan koneksi jangka panjang dibanding keterlibatan yang bersifat provokatif.
Dengan mengedepankan kesadaran diri, empati dan tanggung jawab sosial, individu dapat menghindari jebakan menjadi “pemanas suasana” dan justru berperan sebagai pendingin konflik yang menyehatkan lingkungan sosial.(*/KN)