
KALIMANTAN NEWS – Di era media sosial, konflik personal sering kali tumpah ke ruang publik, bahkan tanpa mengindahkan rasa malu
Ketika argumen sudah habis, sebagian orang beralih menyerang hal paling mudah terlihat seperti fisik, bahkan rentan menjurus body shaming.
Semua dijadikan senjata, ketika tak ada lagi mendapatkan celah lain untuk memberikan pembelaan secara logis, apalagi rasional.
Media sosial kerap menjadi alternatif salurannya, baik itu mengumbar urusan rumah tangga, pertemanan yang berakhir retak bahkan problematika asmara.
Biasanya fenomena ini rentan viral karena kontroversi dan mengandung unsur fun fact di balik kontroversinya.
Sebagai contoh, sebuah unggahan story di Instagram sempat ramai dibicarakan karena berisi sindiran personal, yang menyerempet hingga melakukan body shaming.
Meski awalnya dimaksudkan sebagai balasan, komentar seperti ini justru bisa memicu perdebatan lebih besar dan meninggalkan kesan buruk di dunia maya.
Psikolog menyebut perilaku ini sebagai bentuk lookism, diskriminasi yang berlandaskan penampilan.
Menurut riset Rahmawati et al. (2024) di International Journal of Public Health Science, serangan fisik bukan hanya menyakitkan secara emosional, tapi juga dapat menurunkan harga diri dan memicu kecemasan sosial.
Serangan fisik biasanya diarahkan pada hal-hal yang secara sosial dianggap “kurang ideal”, seperti warna kulit, berat badan, bentuk tubuh, jerawat, gigi, rambut, hingga tinggi badan.