Menyerang Fisik Saat Kehabisan Alasan, Penelitian Ungkap 6 Faktor Pelaku Lakukan Body Shaming

Ilustrasi dua orang sedang beradu mulut

Standar kecantikan yang sempit membuat ciri fisik tersebut rentan dijadikan bahan olok-olok, apalagi ketika pelaku merasa tidak punya celah lain untuk menjatuhkan lawan bicara.

Namun, perilaku menyerang fisik juga sering mencerminkan masalah dalam diri pelaku.

Menurut Werner & Tibubos (2021) di Journal of Behavioral Medicine, faktor yang mendorong perilaku ini antara lain:

  1. Rendahnya self-esteem, sehingga pelaku merasa perlu merendahkan orang lain untuk menutupi rasa kurangnya.

2. Proyeksi masalah pribadi, memindahkan rasa frustrasi atau ketidakpuasan hidup ke orang lain.

3. Insecure berlebihan, merasa terancam atau iri pada kelebihan orang lain.

4. Kontrol emosi yang buruk, membuat serangan personal jadi pilihan ketika marah atau kalah argumen.

5. Riwayat trauma atau pernah dibully, yang memicu pengulangan pola perundungan.

6. Gangguan kepribadian tertentu, seperti ciri narsistik atau antisosial yang belum tertangani.

Data survei dari Plan International (2022) menunjukkan 59% remaja perempuan di Indonesia pernah mengalami body shaming, terutama di media sosial.

Dampaknya tidak hanya menurunkan rasa percaya diri, tapi juga memicu depresi dan isolasi sosial.

Selain berdampak pada kesehatan mental, body shaming juga memiliki konsekuensi hukum.

Di Indonesia, pelaku dapat dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik, dengan ancaman pidana penjara hingga 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.

Alih-alih menyerang rupa, pakar menyarankan untuk mengarahkan energi pada penyelesaian masalah inti.

Mengkritik perilaku, bukan fisik, adalah langkah yang lebih sehat, baik untuk hubungan antarindividu maupun kesehatan mental bersama.(*/KN)

Editor: Zulvan R

Halaman: 1 2Tampilkan Semua
Baca Juga