
BANDUNG, KALIMANTAN NEWS – Pendidikan disiplin ala militer yang diterapkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan netizen Indonesia.
Program ini pertama kali diungkapkan pria yang akrab disapa Kang Dedi itu pada ulang tahun Kota Depok ke-26 pada 25 April 2025 lalu.
Tujuannya, agar siswa bermasalah mendapatkan pembentukan karakter yang disiplin dan bertanggung jawab, sehingga terhindar dari kenakalan remaja.
Para siswa bermasalah ini akan dikirim ke barak militer di bawah pembinaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) selama enam bulan.
Namun benarkah pendidikan ala militer Dedi Mulyadi adalah solusi yang tepat agar terhindar dari kenakalan remaja?
Berikut beberapa hal tentang pendidikan militer ala Dedi Mulyadi yang akan diulas berdasarkan beragam sudut pandang.
Kang Dedi menerapkan pendidikan militer sebagai respon atas kenakalan remaja yang marak terjadi di Jawa Barat seperti tawuran, geng motor hingga kecanduan bermain game.
Sejak pertama kali dilaksanakan sejak awal Mei 2025 lalu terdapat puluhan barak TNI yang disiapkan untuk membentuk karakter disiplin dan bela negara.
Siswa dipilih berdasarkan kesepakatan orang tua dan sekolah dengan alasan kenakalan remaja seperti tawuran, geng motor, kecanduan game, bandel terhadap orang tua, bolos sekolah dan lain-lain.
Menariknya, Kang Dedi Mulyadi menegaskan pendidikan disiplin militer ini bukan layaknya pelatihan perang, melainkan menekankan pendidikan karakter.
Kerja sama pun telah ditandatangani pada April lalu bersama Kodam III Siliwangi. Siswa yang dikirim akan dijemput TNI dari rumah.
Lahir sebagai alternatif, juga terdapat banyak pihak yang mendukung program dari Kang Dedi ini. Salah satunya langsung dari Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai.
Dilansir dari Tempo, apa yang dilakukan Gubernur Jawa Barat tidak bertentangan dengan standar HAM.
Ia menambahkan bahwa di dalam pendidikan disiplin militer tidak terdapat unsur corporal punishment atau kekerasan fisik yang menyebabkan rasa sakit pada anak sebagai bentuk hukuman.
Pigai justru mengapresiasi program yang berlangsung di Purwakarta ini, karena berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Misalnya, seperti kedisiplinan, mental, pengetahuan dan tanggung jawab sebagai siswa.
Kendati mendapat banyak dukungan, program ini juga tak luput dari kritik tajam dari berbagai pihak, salah satunya Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA).
PKPA secara gamblang menolak kebijakan Pemprov Jawa Barat dengan mengirim anak-anak ke barak militer.
Alasannya, militeristik terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum atau latar belakang sosial bermasalah tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
“Yakni, kegagalan sistem pengasuhan di tingkat kelurga dan minimnya intervensi berbasis perlindungan anak di tingkat lokal,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan PKPA, dilansir dari Antara.
Selain itu, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat menilai program itu kurang tepat karena telah tersedia mekanisme baku dalam penanganan kenakalan yakni dengan guru-guru bimbingan konseling (BK).
Senada dengan Atip, anggota Kehormatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo menambahkan pendekatan psikologi melalui guru BK bakal mengubah perilaku siswa.
Sebab menurut Heru, kenakalan siswa terjadi bukan karena faktor tunggal, melainkan perilaku yang dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat, keluarga dan sekolah.(zr/KN)
Editor: Ipik G
Iklan Membantu kami untuk meningkatkan kualitas jurnalisme. matikan adsblock untuk mendukung kami
Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Paham!