
KALIMANTAN NEWS – Integrasi Artificial Intelligence (AI) pada tahun 2025 semakin menunjukkan manfaat nyata, terutama dalam membantu peran di dunia medis. Mulai dari peningkatan akurasi diagnosis hingga penghematan biaya.
Data dari jurnal ilmiah internasional dan laporan lembaga resmi seperti Badan Pusat Statistik (BPS) serta Kementerian Kesehatan mengungkap bahwa penggunaan teknologi AI dapat melampaui metode konvensional di sejumlah layanan kesehatan penting.
Laporan terbaru World Economic Forum (WEF) dan publikasi medis menyebutkan, AI di sektor kesehatan memberikan peningkatan efisiensi signifikan pada beberapa bidang di antaranya;
Sistem computer vision AI menghasilkan laporan pasca operasi dengan kesalahan serius hanya 13%, lebih rendah dibanding 27% pada laporan dokter manusia (studi 158 kasus).
AI hanya melewatkan 0,3% kasus aritmia parah, sedangkan review manusia melewatkan 4,4% kasus.
Sistem MAI-DxO mampu mendiagnosis 85–86% kasus sulit dengan biaya 20% lebih rendah, sementara dokter hanya mencapai akurasi sekitar 20%.
AI mempercepat deteksi nodul paru dan efusi pleura hingga 44% lebih cepat dibanding radiolog manual.
Sistem Computerized Physician Order Entry (CPOE) mengurangi kesalahan obat hingga 80% dan kesalahan serius hingga 55% dibanding metode manual.
BPS mencatat, adopsi teknologi AI di layanan kesehatan Indonesia terus meningkat, terutama di telemedicine, pencitraan medis, dan manajemen rumah sakit.
Namun, sekitar 75% rumah sakit masih belum memiliki SDM yang siap mengoperasikan teknologi ini.
Sejumlah tantangan utama mencakup risiko bias algoritma, keamanan data pasien, dan kebutuhan regulasi hukum etika yang jelas.
Pakar menekankan pentingnya AI digunakan sebagai alat bantu dokter, bukan pengganti keputusan medis sepenuhnya.
Dengan regulasi yang tepat, pelatihan SDM medis, dan infrastruktur data yang aman, AI berpotensi memperluas akses layanan kesehatan berkualitas di Indonesia, sekaligus mengurangi kesenjangan layanan di daerah terpencil.(*/KN)
Editor: Zulvan R